Quiet Quitting : Produk Globalisasi Yang Sulit Untuk Kita Pahami

- Minggu, 30 Oktober 2022 | 19:20 WIB
Rts Liona Amelia Kurnia, mahasiswi Fakultas Ilmu Politik Universitas Jambi
Rts Liona Amelia Kurnia, mahasiswi Fakultas Ilmu Politik Universitas Jambi
 
 
Penulis: RTS LIONA AMELIA KURNIA
Mahasiswi Fakultas Ilmu Politik Universitas Jambi 
 
Jambioke.com- Istilah quiet quitting merupakan sebuah tren baru dalam dunia kerja yang dipopulerkan oleh TikToker asal Amerika, @zaidleppin, yang mengunggah video dan mengatakan bahwa "bekerja bukanlah kehidupanmu".
 
Apa sebenarnya definisi dari istilah quiet quitting? Mengapa hal tersebut menjadi populer? Dilansir dari “The Guardian”, quiet quitting  merupakan sebutan untuk sebuah prinsip dimana pekerja bertugas sesuai dengan porsinya. 
 
Fenomena ini merupakan bentuk perlawanan dari hustle culture yang mendorong pekerja untuk lembur dan bekerja di luar job description utamanya.
Tujuan dari quiet quitting adalah untuk menyeimbangkan antara kehidupan dan pekerjaan, serta menjaga kesehatan mental.
 
Fenomena quiet quitting muncul akibat masa pandemi covid-19 pada 2020 lalu, dimana banyak anak muda diberi tugas ekstra yang tidak proporsional dalam pekerjaannya, namun perusahaan tidak memberi kompensasi tambahan.
 
Meski datang dari latar belakang yang logis dan memiliki tujuan baik, fenomena quiet quitting sangatlah sulit dipahami (apalagi dilakukan) oleh masyarakat Indonesia, mengapa demikian?
 
Perlu dicatat, bahwa tren ini berasal dari Amerika Serikat yang sedang kekurangan tenaga kerja pasca pandemi covid-19.
 
Data dari Departemen Tenaga Kerja AS, bulan September lalu, menunjukkan bahwa 70% lowongan kerja di sektor ritel tidak terisi, begitu pun dengan 55% lowongan kerja di sektor manufaktur dan 45% lowongan kerja di sektor perhotelan.
 
Hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia, dimana pada tahun 2021 saja, tercatat bahwa total pengangguran di Indonesia mencapai angka 8,4 juta orang. Dari data pengangguran tersebut, 14% merupakan lulusan S1.
 
Ketatnya persaingan mencari kerja di Indonesia tidak memungkinkan bagi kita untuk memikirkan kesehatan mental dalam quiet quitting. Masih banyak hal esensial yang harus diperjuangkan, misalnya mengenai upah minim, asuransi kecelakaan kerja, dan lain-lain.
 
Globalisasi di era digital adalah hal yang tak terhindarkan. Namun kita bisa memilah mengenai produk globalisasi apa yang cocok dan tidak cocok di Indonesia.(***)

Editor: RD Suhur

Tags

Terkini

X