Oleh : Ali Monas *
Kebebasan pers di Indonesia telah dijamin secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menempatkan media massa sebagai salah satu pilar demokrasi. Namun, dalam praktiknya, jurnalis kerap mengalami represi yang ironisnya justru datang bukan dari negara secara langsung, melainkan dari perorangan —baik tokoh publik, pejabat, pengusaha, maupun warga biasa— yang merasa ‘terganggu’ dengan pemberitaan.
Model represi ini mengemuka dalam bentuk pelaporan menggunakan pasal-pasal pidana dalam UU ITE dan KUHP, seperti pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan, terhadap karya jurnalistik yang sesungguhnya merupakan bagian dari hak publik untuk tahu dan hak wartawan untuk mengungkapkan fakta.
UU Pers Sebagai Lex Specialis : Jalur Etik Bukan Jalur Pidana
Perlu dipahami bahwa dalam sengketa terkait produk jurnalistik, berlaku prinsip lex specialis derogat legi generali, yaitu ketika UU Pers sebagai hukum khusus harus mengesampingkan hukum umum seperti KUHP atau UU ITE, mirip dengan UU TNI atau UU Militer. UU Pers ini ditegaskan oleh:
– Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-V/2007:
MK menyatakan bahwa delik penghinaan terhadap pemerintah dan pelaporan terhadap pers yang sah tidak boleh dipidanakan, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E dan 28F UUD 1945.
– Surat Edaran Kapolri No. SE/2/II/2021
Kapolri mengarahkan aparat penegak hukum untuk mengutamakan penyelesaian melalui Dewan Pers dalam kasus yang melibatkan media massa atau karya jurnalistik.
Sayangnya, banyak pelapor yang mengabaikan mekanisme etik ini, dan langsung menyeret wartawan ke ranah pidana, padahal belum tentu produk jurnalistik tersebut melanggar etika jurnalistik. Terlebih, Dewan Pers menyediakan ruang penyelesaian damai melalui klarifikasi, mediasi, hak jawab, hak koreksi dan atau permohonan maaf melalui media bersangkutan.
Perorangan Sebagai Pelapor, Simbol Lemahnya Literasi Pers
Dalam banyak kasus, pelaporan tidak dilakukan oleh institusi, tetapi oleh individu-individu —yang seringkali adalah tokoh berpengaruh di tingkat lokal— yang merasa nama baiknya tercoreng lewat berita. Mereka tidak menempuh hak jawab, namun langsung menggunakan jalur hukum pidana sebagai bentuk pembalasan. Contoh nyata dapat dilihat dalam berbagai kasus, antara lain ;
– Di Lampung, seorang wartawan dilaporkan kepala desa karena memberitakan dugaan penyalahgunaan bantuan sosial, padahal berita tersebut mengutip sumber resmi dan telah dimintai konfirmasi.
– Di Jawa Timur, seorang pengusaha melaporkan jurnalis karena berita soal dampak limbah industri, padahal sudah ada hak jawab yang dimuat.
– Beberapa laporan terhadap media juga sudah terjadi di Polda Jambi. Anehnnya, Polda Jambi malah memproses laporan itu dengan menggunakan UU ITE dan atau KUHP berupa pencemaran nama baik.
Kondisi ini menandakan bahwa masih rendahnya literasi pers di kalangan masyarakat —bahkan di kalangan pejabat sekalipun— menjadi salah satu sumber kriminalisasi terhadap media.
Efek Sistemik : Chilling Effect dan Kemunduran Demokrasi Lokal
Tindakan kriminalisasi ini berdampak sistemik, antara lain:
1. Chilling effect (ketakutan yang muncul karena ambiguitas hukum atau peraturan perundang-undangan) – jurnalis jadi takut meliput kasus sensitif (korupsi, tambang, konflik lahan).
2. Melemahnya peran kontrol media terhadap kekuasaan lokal.
3. Ketertutupan informasi publik meningkat, karena jurnalis tertekan secara psikologis dan hukum.
Jika pola ini terus dibiarkan, ruang demokrasi lokal akan menyempit, dan media akan berhenti menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi.
Dewan Pers dan PWI Harus Lebih Tegas
Sebagai lembaga penyelesai sengketa pers, Dewan Pers dan organisasi profesi seperti PWI dan AJI perlu lebih proaktif. Yakni ;
– Memberikan edukasi kepada masyarakat dan pejabat tentang mekanisme penyelesaian sengketa pers.
– Membuka ruang konsultasi terbuka bagi pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.
– Menjalin kemitraan dengan aparat penegak hukum agar tidak mudah memproses laporan terhadap jurnalis sebelum ada verifikasi dari Dewan Pers.
Selain itu, perlu mendorong pembaruan kurikulum hukum dan pelatihan aparat hukum, agar pemahaman tentang UU Pers tidak kalah dengan semangat penegakan hukum lainnya.
Rekomendasi Kunci
1. Kriminalisasi terhadap karya jurnalistik harus dihentikan. Sengketa harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers.
2. Revisi terbatas terhadap UU ITE dan KUHP perlu dilakukan agar pasal-pasal pencemaran nama baik tidak lagi digunakan untuk membungkam jurnalis.
3. Kepolisian harus menolak laporan pidana terhadap karya jurnalistik sebelum dinyatakan bukan produk pers oleh Dewan Pers.
4. Literasi pers harus ditanamkan pada masyarakat, pejabat, dan tokoh publik. Hak jawab adalah jalur konstitusional, bukan pelaporan pidana.
Jangan ‘Cabik’ Demokrasi dengan Pasal Pidana
Kebebasan pers adalah hak kolektif, bukan hanya hak wartawan. Setiap pelaporan pidana terhadap karya jurnalistik yang sah, adalah bentuk kekerasan terhadap akal sehat demokrasi. Negara, masyarakat, dan aparat hukum harus kompak menjaga ruang ini tetap terbuka dan sehat.
Sengketa pers bukan untuk dipidanakan, tapi diselesaikan secara etik dan terbuka. Karena dalam demokrasi yang dewasa, kritik adalah vitamin, bukan racun.
Jadi, jangan sampai pers “dipenjara” dengan pasal pidana, karena itu salah kaprah.(***)
* Penulis ialah jurnalis tinggal di Jambi